Reward Customers Wherever They Shop with Loyalty API and Customers API

Earning customer loyalty is critical in this unprecedented time as businesses try to stay afloat with the support of their customers. One of the ways to maintain a strong customer relationship is…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Sang Dewi.

Sabtu ini berjalan seperti biasa untuk Cecillia Rindu. Yoga di Kemang pukul delapan pagi, memeriksa Outlook dan membalas pesan di kotak masuk sambil brunch di Keraton The Plaza, kemudian langsung bablas kontrol ke lokasi pemotretan di gedung hotel yang sama tepat di jam dua belas. Kegiatan akhir pekannya memang selalu bersinggungan dengan pekerjaan dan itu adalah pola hidup Rindu yang selalu berulang. Sepenuhnya karena pilihan wanita itu. Siapa pula yang bisa memaksa wanita seperti Rindu menjalani sesuatu yang tidak dikehendakinya. Mungkin ada, satu orang, yaitu Kiana Nastascha.

Berteman dengan Kiana sejak masih di bangku SMA mengajarkan Rindu bahwa teori “opposite attract” itu bukan omong kosong. Kiana yang banci atensi dan Rindu yang nyaman bersembunyi di belakang panggung, perbedaan yang membuat mereka jadi ketua di klub ekstrakurikuler masing-masing saat SMA. Kiana ketua klub tari dan Rindu ketua klub jurnalistik. Peran sebagai ketua itu yang mempertemukan keduanya di rapat pertama OSIS angkatan mereka. Tidak ada yang menyangka kedua siswi kebanggaan sekolah dengan kepribadian bertolak belakang itu bisa betah berteman.

Perbedaan-perbedaan mereka bukan cuma perihal sifat, tapi juga berbagai preferensi. Kiana yang memilih untuk menghabiskan liburan dengan keliling kota-kota kecil di benua Eropa dan Rindu yang setia setiap liburan menghabiskan waktu bersama ibunya. Perbedaan itu membuat percakapan mereka setelah libur panjang Natal dan tahun baru jadi menarik. Lalu kiblat gaya berpakaian mereka yang berbeda membuat Kiana dan Rindu sering adu argumen karena menurut Kiana desain rumah mode Chanel terlalu membosankan dan Rindu bersikeras koleksi siap pakai Mugler tidak pernah praktikal karena terlalu eksperimental.

Segala perbedaan yang hadir di antara keduanya justru merekatkan mereka. Rindu jadi pengingat yang mencegah Kiana kehilangan arah karena petualangan-petualangan liarnya sedangkan Kiana adalah kuasa yang mendorong Rindu keluar dari rengkuh nyaman zona amannya. Sang Kuasa memilihkan keduanya sebagai penawar atas kelemahan masing-masing.

Perbedaan lain yang paling kontras di antara keduanya adalah bagaimana Kiana menolak mentah-mentah hidupnya dijajah pekerjaan. Walaupun masih harus sering mengalah dan mengorbankan tanggal merah dipakai untuk menuntaskan pekerjaan, Kiana masih punya nyali untuk menepis permintaan kantor. Berbanding terbalik dengan Rindu yang justru sering inisiatif mendedikasikan tanggal merah untuk menuntaskan pekerjaan. Karena itu penampakan Sabtu malam ini dimana Rindu menghadiri pameran seni sekaligus jamuan makan malam dan bukannya memeriksa editorial mode Bazaar Indonesia adalah fenomena langka.

“I’m here for Bazaar Indonesia.” Rindu menjawab pertanyaan pendamping yang menyambutnya di pintu masuk ruang jamuan makan malam sambil menunjukkan undangan di tangannya.

Wanita itu tidak menunggu terlalu lama di antrian karena kebanyakan tamu undangan sudah datang beberapa belas menit lebih dulu dari dirinya. Rindu bisa melihat kerumunan manusia memenuhi aula tempat makan malam diadakan lewat celah partisi yang membatasi area utama dan pintu masuk aula. Ada kelegaan Rindu rasakan ketika melihat kebanyakan tamu berpakaian sebagaimana dia yang berpakaian formal. Memang sudah semestinya seorang editor dari majalah mode terlihat representatif di setiap kesempatan, terlebih bagi Rindu bersolek adalah hal yang menyenangkan. Tapi jadi pusat lirikan mata di ruang umum bukan sesuatu yang menyenangkan untuknya, dan berdandan berlebihan sudah pasti akan menarik atensi. Itu sebabnya dia menyetir dengan risau yang membuntuti ke Hutan Kota by Plataran. Beruntung bagi Rindu karena ternyata kekhawatirannya hanya asumsi yang tidak terbukti.

“Miss Kiana Nastascha?”

Rindu menggelengkan kepalanya seraya melipat kembali undangan berwarna hijau zaitun dengan aksen emas di tangannya. “Rindu. Cecillia Rindu. Fashion Editor.”

Sempat ada kilat keterkejutan hadir di mata petugas yang menyambut Rindu tapi tidak lama kemudian terganti dengan senyum untuk satu alasan yang pasti; bangga bisa jadi yang mendampingi seorang Cecillia Rindu berjalan ke mejanya.

“Apologize for the inconvenience, Miss Cecillia. I hardly recognize you under the dim light.”

Rindu tersenyum tipis kemudian bertutur menenangkan. “It’s all good. Everyone barely recognizes me. It’s a price I have to pay for avoiding the media.”

Rindu tidak sedang mengucapkan dusta karena memang menjadi topik pembahasan media bukan sesuatu yang dia biarkan jadi bagian normal dari hidupnya. Jari satu tangannya cukup untuk dipakai menghitung wawancara eksklusif yang pernah dia lakukan sejak resmi jadi editor mode Bazaar Indonesia.

“This way, please.”

Bunyi hentakan hak Manolo Blahnik hitam yang dipakai Rindu perlahan ditelan riuh area utama acara. Suara rendah alunan musik yang dimainkan Rendy Pandugo dari panggung utama tumpang tindih dengan suara-suara dialog pengunjung yang berdiskusi tentang hasil karya yang dipamerkan.

Langkah pendamping yang mengarahkan Rindu berhenti pada sebuah meja di sisi kiri panggung utama. Meja yang hampir sejajar dengan satu meja utama yang Rindu yakini adalah meja dari pemilik hajat, Al-Kama Yohan, dan tamu-tamu paling penting malam ini.

“This is your seat, Miss.” Kertas dengan cetakan nama Kiana Nastascha diambil dari atas piring oleh sang pendamping setelah dirinya menarik bangku untuk Rindu. “Please.”

Rindu tidak langsung duduk tapi mengutarakan sebuah pertanyaan, “where is everyone else?” Pandangan mata Rindu melirik empat kursi lain di mejanya dan sang pendamping secara bergantian. Kursi-kursi kosong yang disusun mengelilingi meja itu mengundang rasa penasaran, Rindu kira dirinya adalah yang datang paling terlambat.

“I believe the other attendees are checking the arts, Miss.”

“We were.” Sebuah suara berat menginterupsi. Suara yang menarik Rindu ke malam beberapa bulan lalu di Suargaloka. “I guess I’m the first to come back here.”

“Good evening, Mister Kaisar.”

Rindu masih berusaha memproses keberadaan sosok laki-laki dengan asma Kaisar di sampingnya saat sebuah senyuman dilemparkan padanya. Kaisar Antonius Widjaja, si pemilik suara berat yang mengajak ruang ingatan Rindu jalan-jalan, kemudian beralih dari Rindu untuk menepuk pundak pendamping yang berdiri di dekat keduanya.

“I’ll take care of her.” Ucap Kaisar penuh kepercayaan diri seolah pribadi yang dia maksud sudah memberi izin. Padahal Rindu diam-diam berdoa bahwa salah satu kursi kosong di mejanya bukan diperuntukan bagi Kaisar.

“We meet again, Rindu.”

“You’re on this table?” Rindu bertanya ketika sadarnya berhasil terkumpul.

“Fortunately, yes.”

Banyak serapah yang tiba-tiba memenuhi kepala Rindu dan semua ditunjukkan untuk Kiana.

RINDU

Aku bukan seseorang yang suka memprofil orang lain berdasarkan pakaian apa yang mereka kenakan. Walaupun sudah hitungan tahun mendalami fashion industry dan bekerja di industri tersebut, aku percaya setiap orang punya alasannya masing-masing ketika memilih gaya berpakaian seperti apa yang menjadi preferensi mereka. Biarpun aku menghargai keindahan mode dan memberikan hampir seluruh hidupku untuk meneruskan keindahannya, tertanam keyakinan bahwa bagi banyak orang berpakaian sesuai tren adalah hal yang sia-sia. Dan aku menghormati itu.

Dibanding menilai seseorang dari caranya berpakaian, aku lebih suka membuat asumsi berdasarkan bagaimana seseorang memperlakukan janji. Memenuhi janji menjadi tolak ukur integritas bagiku. Jadi jangan heran kalau sekarang aku bersikap ketus pada Kaisar yang memberikan kata-kata akan mengabari dan malah menghilang tanpa kabar setelah pertemuan pertama kami yang berakhir aneh.

“I don’t think it’s right to explain the situation over text.”

Aku mendengus, “why don’t you call me then?”

“It’s the same thing. I was waiting for another chance to meet you.”

That’s straight up bullshit.

Tanganku meraih gelas yang baru saja diisi ulang dengan sparkling wine oleh pelayan. Tenggorokanku rasanya gatal ingin mengeluarkan kalimat-kalimat makian setelah mendengar pembelaan Kaisar.

“Are you here alone?”

Aku mengangguk atas pertanyaannya. “You?”

“Again, fortunately, yes.” Senyum kembali terpatri pada wajah tampan Kaisar. “That’s my seat,” telunjuk Kaisar mengarah pada kursi kedua di sisi kanannya, “I’ll ask Dewanggara to switch seat with me.”

“Dewanggara? Dewanggara Ghani?”

Anggukan kepala Kaisar membuatku termenung.

Nama Dewanggara Ghani begitu familiar karena kerap hadir dalam percakapanku dan Kiana. Dewangga adalah salah satu sahabat dekat Kiana sejak masih kuliah di NYU. Dan aku tahu dia bekerja untuk PRIDE Co. yang menjadi salah satu sponsor dari pagelaran seni ini. It’s so weird that Kiana didn’t mention Dewangga is one of the invitees.

“You know him?”

Alis tebal Kaisar bertaut ketika aku menjawab pertanyaannya, “we have a mutual friend.” Tapi Kaisar membalas dengan gumam ‘oh’ singkat.

“Dewanggara hadn’t arrived yet when we left to see the paintings. It’s very unlike him to be late to an event.” Kaisar menjelaskan tanpa aku minta.

“You know him too?”

“He knows everyone.”

Aku tidak menjawab tapi dalam hati membenarkan perkataan Kaisar.

“I believe he doesn’t mind switching seats.”

Dengusan tidak bisa aku tahan untuk keluar dari bilah bibirku. “But I do.”

Tatapan Kaisar dipenuhi kecewa mendengar ucapanku. “Let me make it up to you. Tonight.”

“I prefer to sit next to someone I know so I don’t have to play pretend for the rest of this event, Kaisar.”

“Rindu, please.”

Aku tidak suka harus berusaha keras untuk menolak. Harusnya semua orang selalu berusaha membaca komunikasi nonverbal yang disampaikan seisi ruangan. Bukannya malah memaksa seseorang yang merasa tidak nyaman berpayah tega untuk menolak seperti yang Kaisar lakukan sekarang. Sejujurnya aku ingin sekali meneriaki laki-laki itu untuk kembali ke kursinya, tapi yang aku lakukan malah memendam kejengkelanku sendiri. Kedua kakiku bergerak naik turun seperti biasa ketika aku sedang jengkel. Dan bukannya menangkap sinyal tidak nyaman dariku, Kaisar malah melanjutkan aksi membujuknya.

“What should I do to get a second chance from you?”

Kakiku yang tersembunyi di bawah meja berhenti berderap gusar ketika seseorang datang mendekat ke meja kami dan memotong Kaisar yang masih berusaha meyakinkanku.

“Halo, selamat malam. Ini kursi saya.”

Yang aku dapati ketika menoleh ke sumber suara adalah presensi nyata dari bayang-bayang yang mengganggu jam makan siang dan membuatku sering melamun sembari memandangi halaman LinkedIn atas nama Galih Nawangkara.

Aku kira aku adalah tamu undangan yang datang paling terlambat malam ini. But look what we have here.

“I hope you don’t mind.”

Kaisar berdiri lebih cepat daripada kerjapan mataku. Aku benar-benar terkejut sampai tercenung menatap wajah Galih.

“This seat is reserved for Dewanggara.”

Tangan kanan Galih terulur tanpa ragu ke arah Kaisar. “He couldn’t make it, I’m here for PRIDE Co.” Tenggorokanku seperti terhimpit sampai membuat napas sempat tercekat saat Galih menjatuhkan pandangan padaku. “Galih. Galih Nawangkara. Salam kenal.”

Rasanya seperti perlu seseorang untuk mengingatkanku bagaimana caranya bernapas. Menghela udara rasanya seperti membingungkan dengan Galih hanya berjarak satu kepal dari tempatku duduk. Tiba-tiba saja aku jadi takut salah bersikap karena tidak mau Galih tahu bahwa setelah malam pertemuan kami, semua titik yang dia sentuh kala itu merindukan dirinya. Seolah Galih punya kemampuan membaca pikiran, aku segera memalingkan pandanganku ke arah lain, takut laki-laki itu melihat isi kepalaku yang ruwet perkara merindukannya kalau mata kami kembali bertemu.

Samar-samar aku mendengar Kaisar meminta Galih untuk bertukar tempat duduk dengan dirinya. Diriku berlagak seolah tidak sedang menguping percakapan kedua laki-laki itu.

“I’d love to sit and talk with Rindu to discuss an unfinished business between us.”

Punggungku menegang saat aku merasakan ada tangan menjamah sandaran kursiku. Genggaman tanganku pada clutch di pangkuan menjadi lebih erat karena aku tahu tangan siapa yang ada di belakang tubuhku. Tapi sepertinya yang menjadi penyebab diriku kelimpungan mengatur diri tidak peduli sebab sekarang dia malah mengajakku bicara.

“Do you want me to switch seats with him?”

Cara bernapas saja aku linglung sekarang malah disuruh mengambil keputusan.

Kalau aku melewati lebih lama waktu tanpa menjawab pertanyaan Galih pasti aku akan terlihat gugup. Aku memang tengah gugup, tapi bukan berarti semua orang harus tahu.

“What kind of plus one sits two seats away from their date?”

Galih menilik kedua bola mataku bergantian. Dan aku berusaha untuk tidak menjatuhkan pandangan mata selain pada dwinetra miliknya.

“Well…” Galih dengan cepat ikut dalam sandiwara yang kumulai tanpa aba-aba. “That will be rude.”

Kedua tangan Kaisar masuk ke dalam saku celananya. Tubuhnya yang tinggi berdiri tegap tapi air wajahnya keruh. Dirinya masih enggan meninggalkan tempatnya berdiri.

“You said you came alone, Rindu.”

Galih mendahuluiku dan dengan senang hati mengambil alih tugas untuk mengecoh Kaisar dengan bualan.

“I don’t think we owe you an explanation, but since you insisted then I’ll explain.” Galih menatap lurus kepada Kaisar yang mendengarkan dengan seksama. Pemandangan dua laki-laki tampan yang ngobrol di depanku ini seharusnya menyenangkan untuk dipandang seandainya bukan aku topik dari percakapan mereka. “We found out that we’re going to this event, so agreed to be each other’s plus one. But I told her that I might have to take a rain check at the last minute because a sudden business came up. Turned out I sorted it out faster than I predicted,” Galih menoleh kepadaku, “so, here I am now.”

Dengusan yang keluar dari mulut Kaisar mengisyaratkan bahwa tidak sedikit pun dia percaya penjelasan Galih. “Alright then. I will call you to set up a meeting. For real this time.” Kaisar akhirnya menyerah. “And I’m just two seats away if you need me.”

“I have Galih with me, Kaisar.”

Aku tidak mengira Galih akan kembali menimpali tapi kemudian dia dengan halus namun tegas mengusir Kaisar. “You can rest assured that I will take good care of Rindu. Just like on the night you left her on Suargaloka.”

Mata lebar Kaisar membulat saat mendengar kalimat terakhir yang diudarakan oleh Galih. Mulut Kaisar sudah setengah terbuka hanya saja pembawa acara mengumumkan bahwa perjamuan makan malam akan segera dimulai sehingga semua yang ingin dia katakan harus kembali ditelan.

Masih belum ada sepatah kata pun keluar dari ‘ku atau pun Galih sampai hidangan pembuka mulai disajikan. Wangi yang menguar dari mangkuk berisi French Onion Soup bahkan tidak bisa menjadi distraksi dari rasa canggung yang melanda.

“Rindu…” Tubuhku merespon hampir langsung pada suaranya. Aku menyesal karena menoleh terlalu cepat ke arah Galih, membuat laki-laki di sampingku itu tersenyum memamerkan gusi merah mudanya.

Sepersekian detik kemudian Galih mencondongkan tubuhnya mendekat ke arahku. “You use the wrong spoon.” Tangan Galih memanjang seolah akan memeluk ‘ku, namun rupanya dia hendak meletakan sendok supnya di sebelah mangkuk supku.

“Thank you, Mas.”

Ucapan terima kasih itu terdengar jauh lebih lirih daripada seharusnya. Atmosfer di antara kami berubah jadi jauh lebih canggung setelah kami berdua menarik diri menjauh dari masing-masing.

Ada banyak sekali yang sebenarnya ingin aku sampaikan pada Galih. Tapi yang terutama adalah bagaimana aku merasa marah dan kecewa karena dia tidak menginginkanku seperti aku menginginkan dia.

Sesungguhnya bukan salahnya kalau aku merasa kecil serta kotor karena tidak mendapatkan usaha berarti setelah pertemuan kami yang pertama. Kami saling mewujudkan impian dan memenuhi keinginan yang telah lama terpendam. Tidak ada yang pulang merugi.

Kesalahannya adalah aku wanita yang ternyata memendam begitu banyak harapan tentang dicintai.

Bukan salah Galih kalau aku merasa pesan melalui Instagram tidak berarti apa-apa. Kesalahannya adalah aku wanita yang ternyata menuntut usaha lebih.

“Mas–”

“Rindu, we need to talk–”

Galih tersenyum tipis. Senyum yang singkat namun sampai ke binar matanya.

“You go first.”

Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan tergesa. “I’m sorry for ignoring your message. It was never my intention to stood you up, I was just…” lidahku menggantung ketika aku mencari kata yang tepat untuk menggambarkan kekecewaan yang aku rasakan ketika pertama kali membuka profil Instagram milik Galih. “…confused?”

“I should be the one who said sorry.” Galih mengubah posisi duduknya yang semula menghadap ke meja tempat kami duduk bersama menjadi duduk mengarah kepada ‘ku. “I shouldn’t have done what I did to you that night. I didn’t mean to disrespect you.”

“Mas. Don’t. I gave you my consent.” Aku menjawabnya cepat. “You didn’t do anything to me. You did everything with me, Mas.”

“You were half drunk, Rindu.” Kedua telapak tangan Galih mengusap wajahnya gusar. “I’m truly sorry. And I know I don’t deserve to beg for forgiveness, but I need to tell you how sorry I am for what happened that night.”

Seumur hidup aku selalu menjauhi lampu sorot dan benci ketika harus menjadi pusat perhatian. Tapi sorot mata menyelidiki yang ditunjukan padaku dan Galih tidak sedikit pun aku hiraukan karena detik ini, di dekat Galih Nawangkara sedekat ini, satu-satunya yang aku pikirkan adalah bagaimana semua perasaan yang tergulung kusut bisa diurai dalam kata.

“You didn’t do anything wrong. But if somehow, during that evening, you did something that upset me, I forgive you, Mas Galih.”

Dia berusaha agar bibirnya tidak membentang terlalu lebar, aku bisa lihat itu saat dia pura-pura memalingkan wajahnya. Semoga kali ini semuanya bukan hanya asumsi yang tidak terbukti.

“I heard that you’ve been asking about me.”

Galih masih tetap menyalahi table manner dan duduk menghadapku. Dengan kedua tangannya yang bertaut beristirahat di atas pahanya, Galih melekatkan pandangannya padaku. “I hope you don’t mind me asking, what was stopping you?”

Jawaban untuk pertanyaan itu sudah siap tersusun di kepalaku karena aku tahu malam ini akan sampai di sana.

“Mas Galih?”

“Dea?”

Galih beranjak dari kursinya dan di saat yang sama aku mengenali sosok wanita yang menghampiri meja kami.

“Aku nggak lihat nama Mas Galih di daftar tamu waktu Galeri Bangsa kirim guest list untuk minta approval ke kantor. Kok bisa di sini?”

Ini pertama kalinya aku melihat Galih kesulitan menjawab pertanyaan yang diberikan untuknya. Matanya bahkan sempat tidak tahu harus menatap kemana.

“You’re here as the ministry’s representative?”

Wanita yang dipanggil Dea oleh Galih itu terlihat bingung ketika tidak dijawab pertanyaannya dan malah mendapat pertanyaan balasan. “Iya dong, Mas. What else the reason could be?”

“I don’t know.” Suara Galih seperti bisikan yang begitu lemah. Ujung kalimatnya yang setengah diseret terdengar sepert permintaan tolong di telingaku.

Jadi seperti pahlawan kesiangan yang sebenarnya tidak dibutuhkan amat kehadirannya, aku berdiri dari kursiku dan beranjak berdiri di sebelah Galih.

“Hi. Dea, right? I’m Cecillia Rindu from Bazaar Indonesia. Fashion Editor and Mas Galih plus one for tonight.”

Dea terkesiap dan malah menatap Galih seperti sedang menunggu penjelasan darinya. Namun tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara — karena pasti terlalu kaget dengan perkenalan diriku yang tiba-tiba — jadi aku kembali meneruskan percakapan.

“One of the invitees left before the entree, do you want to join our table?”

Galih dan Dea kompak menoleh dengan kaget ke arahku.

GALIH

Saya percaya bahwa bertumpu pada logika akan mengeliminasi hal-hal buruk dari garis edar kehidupan. Atau setidaknya meringankan jalan ketika meniti pijakan yang terjal. Karena sebenarnya yang dikatakan sebagai cobaan hanya sebuah masalah yang perlu dicari solusinya.

Namun pernah gagal mempertahankan sesuatu yang seharusnya sehidup semati membuat saya mempertanyakan apakah sebenarnya yang saya gadang-gadang sebagai jalan pikiran yang bijaksana hanya bentuk dari ketakutan tenggelam dalam lautan perasaan.

Cecillia Rindu mengandaskan lautan itu. Yang ada di antara kami cuma kubangan air yang bisa dengan mudah dilompati. Tidak perlu berpikir serius untuk tahu bahwa akan mudah berpindah sisi jika saya memang mau mendekat pada Rindu.

Nyatanya rintangan yang sudah surut itu tidak membuat saya jadi lebih berani merasa.

“Sorry to drag you between me and my ex wife.”

Saya dan Rindu berjalan beriringan dengan lambat sebab kasut yang membungkus kaki rindu lebih besar empat nomor dari ukurannya yang seharusnya. Sepasang sepatu haknya pindah saya bawa di tangan kiri bersama dengan kotak berisi buah tangan dari pagelaran seni yang kami datangi malam ini. Beberapa belas menit lalu dia mengeluh bahwa pergelangan kakinya terasa pegal tapi dia belum mau pulang dan meminta saya menemaninya mengelilingi ruang terbuka yang berada di belakang lokasi acara. Saya berakhir berjalan telanjang kaki karena meminjamkan sepatu saya untuk dipakai Rindu.

“I dragged myself between you and her, Mas Galih.” Rindu menyenggol lengan saya dengan sikunya. “Berhenti minta maaf karena lebaran tuh udah lewat, Mas.”

Telapak kaki yang terasa digelitik oleh ujung-ujung rumput bahkan tidak cukup untuk membuat saya tertawa seperti celotehan iseng yang datang dari Rindu.

“Okay, I will stop.”

Wanita dengan surai legam itu berhenti berjalan dan membuat saya menyesuaikan diri lalu berdiri di hadapannya.

“That’s my car.”

Siapa pun yang berakal tahu bahwa ini adalah waktu dimana saya harus menanggalkan nalar agar bisa mengupayakan rasa.

“Let me drive you home.” Ujaran permohonan itu keluar dengan susah payah sebab barangkali ditatap Rindu dengan teduh melandaskan segala kemampuan yang ada pada anak manusia.

“If I let you drive me home, will you give me discount for klepon and panna cotta at Suargaloka?”

Jawaban yang akan saya berikan tidak sama sekali lahir dari logika namun adalah persetujuan yang paling mudah yang pernah saya ambil.

“I’ll take you there anytime you want to.” Dia berjingkat bahagia. “I’ll give you the recipe if you want to.”

Rindu tergelak sambil menggelengkan kepalanya. “Masa mau bocorin rahasia dapur?”

“My mother would be more than happy to share the recipe with you. I’ll take you to meet my mother if you want to.”

Sebuah pukulan yang tidak seberapa kuat mendarat tepat di lengan kanan saya.

“Slow down, Mas. We haven’t gone on a first date.”

Gantian saya yang tertawa mendengar ucapan Rindu.

“Rindu… we passed second base already.”

Kali ini pukulan yang saya terima jauh lebih kuat dan datang bertubi-tubi. Saya sampai harus berlari untuk menghindari amukan Rindu. Beruntung wanita itu berlari sangat lambat karena terhambat sepatu kebesaran yang dipakainya.

Waktu menoleh dan sadar ternyata Rindu sudah tertinggal lumayan jauh di belakang, saya berhenti agar Rindu bisa mengejar. Tidak terpikir justru momen ini menjadi realisasi bahwa malam ini Sang Dewi bukan hanya judul dari pagelaran seni dengan inspirasi keagungan dewa dewi… tapi juga senyum bak batari milik Rindu.

Add a comment

Related posts:

Are Coral Reefs Doomed?

Would you like to swim in the midst of scintillating fish in coral reefs? Would your kids? The future is bleak for diving fans, with the ever-increasing bleaching of these gorgeous ecosystems. Corals…

BATEU A RESSACA

Bem que eu tava achando esquisito. Tudo bem que o Sangue de Jorge Jesus tem poder e coisa e tal, mas pô… Campeão da Libertadores no sábado, faturando o Brasileirão que já estava faturado no domingo…